Yuridisnews.com, Sumenep, Jawa Timur – Sebuah skandal politik uang mengguncang Sumenep, Jawa Timur, ketika terungkap bahwa oknum Polres terlibat dalam Pemilu 2024 dengan menerima suap miliaran rupiah.
Kejadian ini terjadi beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pemilu, menimbulkan pertanyaan serius terkait netralitas Polres dalam proses demokrasi.
Dugaan keterlibatan oknum Polres dalam politik praktis menjadi sorotan tajam, melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi penegak hukum.
Kasus ini juga mencuatkan isu politik uang yang merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar demokrasi yang secara hukum dan politis merupakan keniscayaan dalam negara modern. Namun, dalam penerapannya tidak semua unsur warga negara dapat menggunakan hak politiknya. Misalnya saja anggota Polres termasuk warga negara yang dikecualikan dari hak politik tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memelihara dan menjaga sikap netralitas mereka dalam proses pemilihan umum, baik legislatif maupun pemilihan presiden.
Menurut kajian akademis dan temuan di lapangan, pada pemilihan legislatif tahun 2024, Polres Sumenep diduga memiliki salah satu oknum yang terlibat aktif dalam politik praktis. Oknum tersebut diduga menerima suap dari salah satu calon legislatif sebesar miliaran rupiah dengan janji tidak akan menghitung ulang salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep serta akan menaikkan suara di kabupaten tersebut. Peristiwa ini bermula dari pertemuan di Surabaya antara oknum Polres dan calon legislatif tersebut, di mana suap diterima dalam koper merah.
Dalam kasus ini, peran netralitas Polres dalam Pemilu dipertanyakan. Pertama, bagaimana netralitas Polres dalam teori dan praktek? Kedua, bagaimana prospek netralitas Polres ke depan terkait dengan peran mereka sebagai institusi penegak hukum?
Polres mengambil peran sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Merujuk Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, terdapat belasan tugas Kepolisian, termasuk pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah serta membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran hukum.
Undang-undang tersebut juga mengatur sejumlah larangan bagi anggota Kepolisian selama mengemban jabatannya. Salah satunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri harus bersikap netral dalam politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Pasal yang sama juga melarang anggota Polri menduduki jabatan di luar Kepolisian selama mengemban jabatan sebagai anggota Polri aktif.
Dalam kajian literasi teoritis yang tajam, tindakan seperti ini termasuk dalam konsep “politik uang” dan dijelaskan dalam tindak pidana politik uang yang diatur dalam Pasal 523 ayat (1). Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Bagaimana kelanjutan kasus ini?
Masyarakat Sumenep kini menunggu transparansi dan tindakan tegas dari aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa kasus ini ditangani dengan seadil-adilnya demi menjaga integritas Pemilu dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Penulis : Inisial PJ
Editor : MS